Hari ini saya mendapat kesempatan diajak mengunjungi sebuah kluster UMKM di Kabupaten Temanggung.
Urutan kunjungan pertama ke kluster Batik Warna Alam Larasati.
Tapi tidak membuat saya antusias. Karena menurut saya, batik itu sebuah karya seni yang secara teknis maupun ide, tidak ada patokan tertentu.
Di kluster kedua, di daerah Tlahab, Kledung. Menjelang perbatasan dengan Wonosobo. Kluster ini bergerak di bidang perkopian.
Saya terkesan dengan usaha kelompok ini yang dirintis sejak tahun 2001, sebagai usaha yang semula hanya mengisi atau melengkapi usaha penanaman tembakau.
Kopi di daerah ini tidak dibudidayakan secara monoculture, tapi multiculture bersama tembakau dan cabai.
Bahkan belakangan ini hasil kopi dirasakan sangat membantu ketika tembakau harus mulai ditanam. Hasil kopi bisa menopang biaya penanaman tembakau.
Tembakau yang menjadi sumber pendapatan daerah utama Kabupaten Temanggung ini memang luar biasa nilainya bagi masyarakat setempat.
Dalam perjalanan menuju Tlahab, saya sempat melihat pabrik pengolahan awal tembakau milih sebuah perusahaan rokok terbesar di Indonesia.
Kata Ketua Fedep Kabupaten Temanggung, di saat panen tembakau seperti ini urusan selain tembakau menjadi nomer 60 dalam urutan prioritas kegiatan masyarakat Temanggung. Ini menunjukkan betapa pentingnya tembakau bagi masyarakat Temanggung.
Hal tersebut menyebabkan potensi di luar tembakau sedikit terabaikan.
Kembali ke kopi……
Tahun 2001 nilai jual kopi segar petik basah Rp.3.500,-/kg.
Harga itu begitu rendah karena penjualan dengan sistem ‘tebas’, jual menjelang panen sekitar 2 minggu sebelum biji kopi matang berwarna merah.
Saya lebih suka menyebut ini sebagai ketidaktahuan petani akan cara pengolahan biji kopi yang akan mendatangkan harga tinggi.
Para petani masih bekerja sendiri-sendiri. Menjual langsung ke tengkulak.
Hingga kemudian datang seorang penyuluh lapangan yang berusaha menghimpun mereka untuk bekerja berkelompok. PPL itu harus mendekati satu persatu petani dengan memberi contoh di lapangan dalam hal teknis penanaman, pemeliharan, pemanenan hingga penjualan kopi bukan dalam bentuk biji basah, tapi selain kering juga sudah diolah hingga menjadi biji kipi glondongan (kopi kering sangrai) dan kopi olahan (kopi beras, giling dan bubuk).
10 tahun kemudian kelompok ini benar-benar intensif mengembangkan usaha kopi tetap sebagai tanaman multiculture hingga sekarang tahun 2014 ini sudah mengekspor produk kopi bubuk hingga ke Korea Selatan.
Yang menarik dari usaha kelompok ini, mereka bekerja sudah 14 tahun tanpa bantuan dana siapa pun, termasuk pemerintah setempat.
Secara swadaya mereka mengembangkan usaha.
Meyakinkan petani lain yang belum bergabung hingga akhirnya seluruh petani di wilayah ini tidak ada yang ketinggalan berpartisipasi.
Dalam kelompok itu juga sudah ada pembagian kerja yang jelas. Siapa yang mengurusi pemeliharaan, siapa yang mengurusi pengolahan dan siapa yang mengrusi pemasaran.
Effek samping yang juga tak kalah menakjubkan, lahan tanaman kopi ini terletak di atas bukit yang sangat indah. Pemandangan 8 gunung di Jawa Tengah bisa dilihat dari lokasi tersebut.
Hal ini menjadi lahan baru bagi para pemudanya untuk membuka usaha eco-wisata dengan fasilitas yang cukup wah menurut saya.
Dengan Rp.150.000,-/orang, wisatawan bisa menikmati pemandangan indah saat matahari terbit dan terbenam, menikmati proses penyajian kopi alami, serta fasilitas penginapan a la kemah Pramuka, tetapi tenda komplit dengan mushola, toilet dan perlengkapan tidur.
Hahahahaha…..
Buat saya sayang sekali kalau semua moment indah itu hanya ditinggal tidur.
Kopi memang hebat yaa…….
Saya semakin suka pada minuman yang satu ini.
Hidup kopiiiiiiiiii…..